Adam, Ara, dan Kura-kura (a short story by Annisa Rizkyta)


"Dam, kasih tahu aku gimana caranya ikhlas.."
Adam dan Ara duduk di tempat biasa, di atap loteng rumah Ara. Angin sore itu terasa dingin, seperti paham apa yang sedang ditangisi Ara.
"Ikhlas itu gak ada buku panduannya, Ra."
"Lalu kenapa kepergian begitu menyakitkan kalau semua orang tahu mengikhlaskan itu susah."
"Salahmu ra, salahku juga, salah semua manusia di bumi ini yang terlalu merasa memiliki. Kita ini egois, selalu diberi senang atas kehadiran orang-orang yang kita cintai, tapi menolak merasakan sedih atas ketiadaannya."
Ara dan Adam terus berbalas kata, keduanya merasakan kepahitan yang sama, ditinggalkan, kehilangan. Sepuluh tahun ternyata tidak cukup membuat Ara lupa akan kenangan ibunya yang begitu lembut dan perhatian. Ia terlalu rindu dicintai setulus dulu, ia terlalu rindu dimanja sepuas dulu, ia terlalu rindu sosok ibunya. Bagi Ara, satu kakinya sudah lumpuh secara permanen bersama dengan kepergian sang ibu dan tidak akan pernah sembuh. Hanya tersisa satu kaki lagi, ayahnya. Maka ia sangat butuh tongkat penopang yang ia harap itu adalah Adam.
Sudah lima tahun mereka kenal, bersahabat baik. Pertemuan yang tidak disengaja saat Ara melihat karyanya ditempel di mading oleh Adam yang saat itu adalah anggota penggiat mading di SMP. Padahal mereka sudah di tahun kedua, tapi belum saling mengenal, berpapasan saja jarang sekali. Ara terlalu sibuk dengan dunianya, sibuk menulis apapun yang ia mau. Ia bisa menjadi apa saja dalam ceritanya. Ia menciptakan bumi lain yang ia huni bersama khayalannya. Buminya indah, tidak ada orang jahat, karena memang tidak ada manusianya, ia hidup dengan beragam benda tak bernyawa, agar tidak ada yang mati meninggalkannya.
"Itu karyamu?" Tanya Adam pada gadis yang mematung sambil tersenyum memperhatikan mading.
"Iya." Gadis itu pun lantas kembali ke kelas detik itu juga.
Ara tidak secuek itu, ia masih bisa berkomunikasi dengan baik. Dia hanya terkejut. Meskipun temannya tidak banyak, Ara paham bagaimana cara memperlakukan manusia dengan baik. Ayah yang mengajarkannya untuk begitu. Di dunia nyata, Ara masih tinggal di bumi manusia. Mereka masih saling membutuhkan, termasuk Ara. Tapi Ara tidak banyak bicara, seperlunya saja. Ia tidak mau memaksa orang lain untuk menanggapi omongannya.
Besoknya, Adam mengajak Ara berkenalan di koperasi siswa. Singkat saja, bertanya nama dan kelas mana. Padahal kemarin Adam sudah mengetahuinya dari mading sekolah. Suatu hari, mereka mengikuti ekskul baru yang sama. Kalau dulu yang ditempel di mading hanyalah karya dari sukarelawan, namun sekarang ekstrakurikuler Jurnalislah yang mengelola dan ikut menyumbangkan karya anggotanya. Semua anggota penggiat mading bergabung dengan ekskul Jurnalis. Wadah yang tepat untuk membuat Adam dan Ara saling mengenal lebih jauh. Seiring berjalannya waktu, pertemuan mereka semakin sering, obrolannya semakin meluas, dan mereka semakin dekat.
Setahun berjalan, mereka mulai menceritakan privasi mereka masing-masing. Ternyata ada satu hal yang membuat mereka memiliki kecocokan saat berinteraksi, latar belakang mereka, sama-sama ditinggalkan oleh orang terkasih. Hanya beda rentang dua tahun, ibu Ara pergi saat ia berumur delapan tahun, sedangkan ibu Adam pergi saat ia sepuluh tahun. Dari poin itu, mereka berusaha untuk saling mengerti, saling ada saat salah satu butuh, dan berjanji untuk tidak saling meninggalkan.
Pertemanan mereka menyisakan tanda tanya untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka kebingungan, ada apa dengan Adam dan Ara. Mereka selalu terlihat bersama, di parkiran, di kantin, di ruang ekskul, di lapangan upacara, hanya terpisah saat KBM berlangsung, karena mereka tidak satu kelas. Keduanya menegaskan kalau mereka hanya berteman baik, mereka nyaman sebagai teman dengan pengalaman hidup yang sama. Namun tidak ada yang bisa menerka masa depan.
Kelulusan pun tiba, mereka tidak menangisi perpisahan yang dirayakan sekolah karena mereka akan bertemu lagi di SMA. Mereka sepakat memilih SMA Negeri yang sama. Ayah mereka juga setuju. Dalam acara graduasi, mereka saling memperkenalkan ayahnya masing-masing. Ayah Ara berperawakan jangkung dan berisi, rambutnya sudah mulai memutih, yang mengagumkan adalah nada bicaranya yang lembut tidak seperti orang Batak kebanyakan. Sedangkan ayah Adam orang Bandung asli, ia selalu senang menyampaikan bahwa lahir, besar, dan menua di tanah asal adalah hal terhebat. Ayah Ara meledek tidak setuju, baginya perantauan adalah hal yang baik, bumi sangat luas untuk dijelajahi. Lelaki bertopi nan santun itu hanya balas tersenyum, ia bilang masing-masing orang berhak meyakini pendapatnya.
Libur panjang sangat membosankan bagi mereka. Ara sudah diajak ayahnya ke pantai, ke puncak, juga ke mall. Selepas itu, ia selalu ada di rumah. Sesekali ia menyuruh Adam untuk datang menghampirinya, sekedar bermain uno atau membicarakan apapun yang lewat di benak keduanya. Mereka bisa membahas kenangan SMP, memberi tahu kesukaan masing-masing, sampai suatu waktu Adam mengajak Ara untuk menerka masa depan.
"Masa depan itu misteri, Dam. Cuman Tuhan yang tahu, aku gak pengen mendahului Tuhan."
"Berandai-andai itu menyenangkan, Ra. Aku tidak memintamu meramal, Tuhan tidak akan menghukummu hanya karena berkhayal."
"Aku ragu, tapi aku akan mendengarkanmu lebih dulu."
Setelah meminum jus jeruk buatan Ara, Adam mulai berbicara.
"Ra, aku pengen juara umum di SMA nanti. Aku pengen punya guru yang baik, yang ramah. Kalau aku belajar dengan nyaman, nanti nilaiku bagus. Aku bisa masuk PTN impianku. Aku ingin jadi arsitek, Ra. Kamu tahu kan aku ingin mendesain rumah yang bagus untuk ayah, aku ingin di hari tuanya, ia merasa senang beristirahat di rumah."
"Aku rasa itu bukan khayalan, Dam. Aku rasa kamu mampu mendapatkan itu. Kamu kan pintar, skillmu juga oke. Jauh kalau dibandingin sama aku."
"Enggak gitu, Ra. Manusia gak boleh terlalu percaya diri. Kalau dia sombong dan lupa diri, Tuhan bisa dengan mudah menjauhkan ia dari impiannya. Aku masih bekerja keras untuk meraih semuanya, Ra. Semoga kamu masih sama aku saat itu semua terwujud."
"Kalau begitu, aku cuman pengen jadi teman kamu selamanya, Dam. Impian-impianku enggak penting lagi kalau gak ada kamu. Nanti siapa yang mengoreksi tulisanku, siapa yang mengingatkan deadlineku, siapa yang temenin aku melamun di loteng, Dam?"
Adam menatap Ara dengan tatapan yang berbeda. Matanya seperti berkaca-kaca, perasaannya campur aduk. Adam menyayangi Ara, entah sebagai teman atau lebih. Saat itu ia belum tahu. Ia terlalu nyaman dengan status teman yang membuat mereka bisa bertengkar setiap hari, kemudian berbaikan dengan modal sebotol air mineral. Dalam hatinya, apakah setakut itu Ara dengan kehilangan. Ia mengesampingkan mimpinya hanya untuk terus bersama dengan Adam, teman baiknya. Seseorang yang menyelinap ke dalam hidupnya dengan cara yang tidak pernah terduga. Ara pikir ia tidak akan punya sahabat baik, orang yang bisa mengerti perasaan dan pikirannya. Adam terlampau sempurna untuk jadi seorang teman.
Tapi, bumi tidak sebaik itu. Akan selalu ada kejutan dalam hidup, baik yang menggembirakan maupun yang menguras perasaan. Mereka tahu hal itu, tapi Ara tidak pernah siap. Sosok Adam yang tangguh dan pengertian menjelma menjadi sosok abang yang tidak pernah Ara miliki. Seorang pelindung, sebuah diari, juga secercah asa yang membuatnya percaya diri untuk menjalani hari.
Mereka sepakat bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah, hingga mereka tidak mau beranjak dari sana. Adam dan Ara berhasil mengecoh satu sekolah. Pilihan yang ada di benak semua orang hanya dua, mereka adalah kakak-adik atau pasangan kekasih. Kebersamaan mereka terlalu intens. Tidak ada yang berani mendekati Ara, pun tidak ada yang berani menggoda Adam. Adam dan Ara hanya tertawa dan mengalihkan pembicaraan saat ada orang yang menanyakan hubungan mereka. Teka-teki lucu sekaligus rumit yang kemudian terjawab di kelas 12. Ya jawabannya mereka hanya berteman. Satu sekolah seolah kecewa dengan kenyataan itu.
"Ra, please jangan bikin aku mati penasaran gara-gara belum dapet jawaban tentang hubungan kalian.." Teman sebangku Ara memelas putus asa, hari itu adalah hari pertama mereka masuk sekolah setelah liburan kenaikan kelas.
"Apaan sih, Lin. Dengan kamu tahu pun, kamu gak bakal dapet keuntungan."
"Seenggaknya aku bisa gibah dengan fakta yang valid, Ra."
"Kamu ada-ada aja sih, masa temen sendiri dijadiin bahan gibah."
"Ra, kasihani aku sekali ini aja, Ra. Please."
"Ya udah, oke. Aku sama Adam itu temen baik dari SMP."
"Demi apa Ra? Ini bukan konspirasi kamu sama Adam, kan?"
"Ya bukan lah, kamu kira aku elite global apa?"
"Ra, aku mau mati dulu ya, kalo ada guru bangkitin aku lagi."
Tentu jawaban itu sama sekali tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Informasi itu langsung menyebar ke seantero sekolah. Tidak berlebihan kalau mereka jadi pusat perhatian sekolah. Adam itu langganan lomba yang pialanya selalu bertambah di lemari kaca ruang piket. Ara juga pernah beberapa kali ikut lomba dan menang. Ara tidak pernah merasa minder dengan Adam, ia yakin bahwa setiap orang punya keahlian masing-masing, punya peruntungan masing-masing juga. Ia hanya minder pada orang yang masih memiliki keluarga yang utuh.
Ayah Ara memilih untuk tidak menikah lagi sebab ia pernah mendengar Ara berdoa yang kurang lebih isinya, "Ya Tuhan, Ara gak mau punya ibu tiri. Ibu Ara cuman ada satu, itu pun sudah Tuhan jemput. Sekarang tinggal ajari ayah untuk bisa menjadi sosok ibu buat Ara. Semoga Ara merasa cukup." Sedangkan ayah Adam pernah menikah lagi, namun kemudian bercerai setelah hampir dua tahun menikah. Adam bilang, ibu tirinya sama sekali tidak jahat, hanya saja ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dengan teman-temannya, ayahnya menikah agar Adam punya sosok ibu lagi, bukan sosok pengejar harta dan eksistensi. Kata Adam, ayahnya belum kepikiran lagi untuk kembali menikah. Apa yang mereka miliki dirasa sudah cukup.
Suatu pagi di kantin sekolah, Adam dan Ara janjian untuk tidak sarapan di rumah. Mereka mau mencoba menu baru di kantin yang Adam lihat kemarin sepulang sekolah.
"Kata kamu enak gak, Ra?"
"Dam, kamu kan tahu tipe makananku kaya gimana. Ini kan masuk ke tipeku, jadi ya kataku enak-enak aja."
"Yah, Ra. Kamu harus mulai belajar menilai. Mana yang asinnya pas, pedasnya cukup, manisnya gak kemanisan."
"Aku cuman belajar bersyukur atas apa yang aku dapat, Dam. Aku bisa makan ini saat banyak orang di luar sana gak mampu beli. Itu yang ayahku ajarin."
"Aku kalah terus kalau ngomong sama kamu. Atau aku cuman ngalah aja ya? Hahaha"
"Kalau kamu kalah, aku senang. Tapi kalau kamu ngalah juga aku tetap senang, Dam. Saat kamu kalah, artinya aku bisa ngalahin si langganan juara. Dan saat kamu ngalah, artinya kamu punya hati yang baik untuk menghargai perasaan orang lain."
"Hatimu, Ra. Hatimu sangat baik, itu kenapa aku gak pernah bosan jadi teman kamu. Aku gak pernah mau membiarkan kamu marah lama-lama. Dan saat aku marah, aku berharap habis-habisan kamu mau datengin aku, walau akhirnya tetap aku duluan yang minta maaf."
"Aku selalu lebih dulu memaafkanmu, bahkan saat kamu belum minta maaf. Aku juga selalu ingin memaafkan diriku sendiri di setiap malam. Aku ingin bangun dengan perasaan tenang karena aku sudah berdamai dengan diri sendiri."
"Jangan berubah ya, Ra."
"Semoga, Dam. Semoga Tuhan sudi mengukuhkan hatiku."
Pembicaraan pagi yang terlalu berat itu harus berakhir. Mereka harus masuk ke kelas masing-masing. Oh ya, meski selalu sama-sama tapi mereka punya pilihan berbeda saat memilih peminatan mereka, Adam masuk IPA karena ia pikir dirinya perlu untuk paham fisika agar bisa masuk jurusan arsitektur. Sedangkan Ara mengambil IPS agar ia bisa masuk ke jurusan impiannya, Hubungan Internasional. Saat Adam ingin membuat berbagai bangunan yang bagus dengan desain ciptaannya, Ara ingin menjelajahi dunia seperti apa yang ayahnya suka. Merantau sejauh apapun kaki bisa dilangkahkan, melihat macam-macam budaya dari orang-orang di negara yang berbeda. Ara bilang, Adam juga harus punya kemauan untuk keliling dunia. Kelak, Adam harus bisa bangun kantor pemerintahan di Amerika, Adam harus mau buat masjid yang bagus di Kanada, ia juga harus mempersiapkan karya terbaik untuk membangun rumah masa depannya sendiri.
Impian-impian yang mereka simpan di loteng rumah Ara, satu per satu harus mulai diwujudkan. Impian Adam untuk jadi juara umum sudah terwujud dua tahun berturut-turut. Namun ada hal yang dilupakan, mereka tidak saling memberi tahu universitas pilihan mereka. Ara ingin kuliah HI di UNPAD, masih di Bandung biar tidak jauh dari ayahnya. Ara pikir, ITB adalah pilihan utama Adam karena di sana ada jurusan arsitektur yang bagus. Ia rasa tidak apa-apa kalau mereka berbeda universitas. Kalau masih dalam satu wilayah, mungkin mereka masih bisa sering bertemu, walau Ara tahu kalau kesibukan kuliah mereka kelak akan banyak menyita waktu. Adam berjanji untuk memberi tahu universitas pilihannya saat selesai graduasi, di loteng rumah Ara.
Menjelang Ujian Nasional, semua siswa SMA saat itu sibuk mendaftar SNMPTN. Adam masih tidak mau memberitahu pilihannya, Ara juga memilih demikian. Ujian Nasional pun berlalu dan pengumuman SNMPTN kebetulan bertepatan dengan hari graduasi sekolah mereka.
"Ra, kamu bisa bedain gak mana yang pergi selamanya sama mana yang pergi sebentar terus balik lagi?" Lamunan Ara di tepi jalan itu buncah karena pertanyaan Adam yang terkesan tiba-tiba.
"Hmm.. Itukan sama-sama pergi, Dam."
"Iya itu kesamaannya, perbedaannya kamu tahu gak?"
"Ya mungkin cuman masalah rentang waktunya, yang satu lama banget, satunya lagi sebentar."
"Nah, kalau seseorang pergi buat selama-lamanya, itu artinya kita harus belajar ikhlas kan, Ra. Kalau seseorang cuman pergi sebentar, kita harus belajar sabar."
"Kamu kok tiba-tiba ngomongin kepergian. Aku gak pernah suka bahasan itu, Dam."
"Kamu sudah besar, Ra. Kita tumbuh sama-sama. Kita juga harus sama-sama belajar mendewasakan diri. Belajar buat lebih kuat, lebih sabar, lebih bersyukur, lebih bahagia."
"Belajar juga buat selalu nepatin janji, Dam."
Adam terhentak, ia teringat satu janji yang ia ucapkan empat tahun lalu: janji untuk tidak saling meninggalkan. Tapi waktu selalu punya alasan untuk melakukan apapun, termasuk merusak janjinya Adam. Bukankah masa depan tidak pernah bisa ditebak, kita hanya bisa berkhayal, berangan-angan, merencanakannya dalam imajinasi, namun kemudian harus pasrah oleh guratan takdir. Tidak, tidak bisa sepenuhnya pasrah, harus ada usaha di langkah sebelumnya.
Akhirnya hari itu datang. Ini graduasi kedua yang Ara rayakan bersama Adam. Sudah lima tahun mereka saling mengenal. Saat Ara sedih, Adam ada menemani. Saat Adam bingung, Ara siap di sampingnya. Adam dipanggil ke depan untuk menerima medali pertama karena ia mendapat predikat lulusan terbaik. Prestasinya cemerlang seperti otaknya. Ara memeluk bangga, itu pelukan pertama yang Ara berikan pada teman terbaiknya itu. Dalam hati, ia mengutuk lamat-lamat perasaan yang telah ia simpan dari dua tahun lalu. Saat Ara diajak ayahnya pindah ke Surabaya, tapi Ara menolaknya dengan sangat hati-hati agar tidak melukai perasaan orang terkasihnya. Saat itu, pertama kalinya Ara menyadari perasaannya terhadap Adam. Ia tidak mau jauh dari Adam, ia ingin menepati janjinya untuk tidak saling meninggalkan. Ayahnya pun mengerti, ia hanya ingin yang terbaik untuk putri semata wayangnya. Ia hanya ingin Ara senang, itu saja.
"Kamu memang pantas, Dam. Aku bangga."
"Eh, jangan nangis Ra. Aku juga kan gini karena semangat dari kamu. Padahal kamu juga tinggal sedikit lagi, tapi kamu malah sibuk merampungkan bukumu yang sudah hampir tiga tahun belum selesai itu."
"Rasanya itu gak akan selesai, Dam. Tapi lupakan saja yang itu. Setelah pulang dari sini. Kita buka pengumuman SNM sama-sama ya di rumahku."
"Siap ibu Tiara Kesuma!"
"Baiklah Adam Nugraha Putra"
Momen itu datang juga, kenyataan yang mungkin menjadi pil pahit yang harus ditelan Ara saat kondisinya sedang baik-baik saja. Sore itu, pukul empat lebih sepuluh menit Adam datang dengan membawa kue tart bertuliskan "Hari Lulus Adam dan Ara".
"Wih niat banget Dam sampe beli kue segala."
"Ini kan hari yang spesial, Ra. Harus lebih disyukuri dan diapresiasi."
"Memang kamu paling bisa!"
Mereka memotong kue itu bersama, ayah Ara juga ada untuk memakannya sama-sama. Setelah makan kue sepuasnya, Adam dan Ara naik ke loteng untuk menepati janji mereka saban hari.
"Kamu duluan Ra yang buka websitenya."
"Kenapa gak barengan aja?"
"Kan ladies first, Ra. Ayo dong."
"Ya udah iya.."
Ara menangis bahagia, ia berhasil tembus SNMPTN UNPAD dengan prodi pilihan pertamanya, Hubungan Internasional. Rasanya semua berjalan sesuai rencana, sesuai harapan. Pelukan keduanya jatuh juga ke raga Adam. Adam membalas dengan menepuk-nepuk punggungnya dan berkali-kali mengucap selamat.
"Aku senang sekali, Dam. Gak nyangka ya. Ayo sekarang giliranmu."
"Ra, sekarang aku harus ngomong jujur sama kamu."
"Jangan bikin aku deg-degan deh Dam. Aku gak suka dikagetin."
"Sebenarnya, Ra. Aku gak daftar SNMPTN, dari jauh-jauh hari aku sudah mengirimkan fortopolioku ke sebuah universitas pilihan ayah. Dan hasilnya keluar sehari sebelum pendaftaran SNMPTN ditutup. Hasilnya aku diterima, Ra. Ayahku senang sekali dan ia tidak berhenti tersenyum."
"Maksudmu bukan ITB?"
"Bukan, Ra. Sama sekali bukan."
"Kamu mendaftar kemana, Dam? Kamu kuliah kemana? Jangan buat aku cemas, jangan buat aku sedih Dam. Aku berharap banyak dari kamu."
"A...Australia Ra."
Seketika tangis Ara pecah. Tidak keras, hanya terdengar sesenggukannya karena Ara menahan tangisnya sekuat tenaga. Tak pernah terlintas di bayangannya mereka akan berpisah sejauh itu. Dunia Ara runtuh untuk yang kedua kalinya. Dia pikir kepergian ibunya adalah keruntuhan bumi yang pertama dan terakhir, tapi kenapa ia harus bertemu dengan yang kedua?
"Ra, aku minta maaf banget udah bikin kamu nangis, udah bikin kamu kecewa. Gak ada sedikitpun niat aku buat kaya gitu, Ra, sumpah. Kamu penting banget buat aku."
"Kenapa harus Australia sih Dam?" Akhirnya ada kalimat yang keluar dari mulut Ara meski terdengar sedikit tidak jelas.
"Itu kampus impian ayahku, Ra, dan jurusannya adalah impianku. Aku ingin membayar kebaikan ayah semasa hidupku dengan menuruti keinginannya, Ra, aku ingin berbakti pada ayah, dia orang tua aku yang tersisa."
"Tapi Aussie itu jauh banget, Dam. Kamu lupa sama janji kamu?"
"Aku sama sekali gak lupa, Ra. Aku ingat betul setiap kalimat yang keluar dari mulut aku. Aku kan pernah jelasin ke kamu, kamu harus bisa bedain mana yang pergi selamanya dan mana yang pergi sebentar buat balik lagi."
Ara hanya terdiam dan tenggelam dalam kalimat tadi. Ia tidak mengira bahwa pembicaraan itu mengisyaratkan suatu hal yang akan sangat berpengaruh bagi hidupnya.
"Aku cuman pergi sebentar, Ra. Aku kan bisa pulang tiap semester, buat ketemu kamu, buat ngobrol sama kamu di loteng ini. Aku cuman minta kamu buat sabar, Ra. Kita pasti bisa lewatin ini, aku sayang sama kamu. Aku juga gak mau kehilangan kamu."
Kalimat itu seperti senapan angin yang tertembak begitu saja. Adam tidak percaya ia sudah menumpahkan isi hatinya, pada teman baiknya sendiri. Perasaan bingung mulai menggelayuti Ara. Di satu sisi, Ara senang karena ternyata perasaannya berbalas, tapi di sisi lain Ara tidak pernah mau ditinggalkan Adam.
"Ara juga sayang sama Adam, makanya Ara gak mau Adam pergi jauh. Memangnya Adam gak mau bareng-bareng sama Ara lagi?"
"Kamu sudah besar, Ra. Kamu gak bisa lagi egois. Kan kamu sendiri yang bilang kalo masing-masing orang punya peruntungannya sendiri. Ya mungkin peruntunganku di sana, Ra. Kamu juga sudah dapat peruntunganmu, HI UNPAD seperti yang kamu mau."
"Dam, Ara gak mau jauh dari kamu.."
"Kamu masih ingat gak sama mimpi kamu yang mau keliling dunia? Kamu bisa ke Aussie buat ikut MUN sekalian ketemu aku, Ra. Tapi kalau kamu gak kesana pun kan aku akan pulang tiap semester."
"Dam, ini nyata ya? Dunia kejam sekali Dam."
"Bukan gitu, Ra. Kamu cuman harus belajar sabar, kamu juga harus bisa ikhlas nerima kenyataan kalau kita gak bisa selalu diam di satu tempat. Aku banyak belajar dari kamu, Ra, dari ayahmu juga. Dunia ini sangat luas untuk dijelajahi."
"Aku menyesal kenapa ayah pernah ngomong itu."
"Kalimat itu gak salah Ra. Ayahmu juga sama sekali gak salah."
"Oke Dam, oke. Aku kalah, aku ngalah. Aku akan belajar ikhlas dan sabar meskipun aku gak bisa bayangin seberapa susahnya itu. Aku menyerah dengan takdir Tuhan yang satu ini, Dam. Katamu aku gak boleh egois, aku akan belajar buat gak egois."
"Tenang Ra, ini bukan bentuk dari kepergian. Aku hanya menjemput mimpiku di sana. Ada harapan yang ingin aku gapai, Ra. Ada doa yang aku tunggu untuk dikabulkan Tuhan, ada kamu juga di dalamnya."
"Apapun kamu menyebutnya, aku cuman minta satu Dam. Jangan pernah lupa jalan pulang. Untuk pulang kamu gak harus pergi. Aku akan belajar untuk melakukan hal yang bahkan aku belum mampu dari sepuluh tahun lalu. Doakan aku kuat, Dam. Berdoa juga ya supaya kita panjang umur. Aku ingin bertemu kamu lagi."
"Iya Ra. Aku titip pesan sama kamu. Jangan pernah lagi menggantungkan hidupmu pada orang lain, Ra. Jangan pernah membangun rumah di diri orang lain, karena kalau orang itu pergi, rumahmu ikut terbawa. Lalu kamu akan merasa tidak utuh lagi, seperti ada yang hilang. Bagian dirimu ikut pergi terbawa olehnya."
Ara teringat suatu tulisan di belakang buku geografinya, yang ditulis Adam enam bulan tahun lalu saat ia sedang main di rumah.
"Jika kura-kura hendak pulang, kemana ia harus berjalan? Katamu, ia hanya perlu berdiam. Rumah sudah ada pada dirinya. Tempurung yang melindunginya dari dingin hujan, menghindarinya dari terik siang, tempurungnya adalah tameng pertahanan diri. Ia senang bila ada teman, tapi juga tak menangis saat sendiri. Berjalanlah kemanapun sampai kamu sadar bahwa rumah yang sempurna adalah dirimu sendiri."
Mereka tenggelam dalam obrolan yang panjang itu. Ara belajar menerima keputusan Adam untuk kuliah di Australia. Mereka menikmati hari-hari penuh rasa sembari menunggu keberangkatan Adam dua bulan lagi. Semoga bumi berbaik hati menjaga perasaan mereka agar kelak disatukan dengan sempurna. Agar tidak ada lagi jarak yang membelenggu rindu, agar tidak ada lagi air mata "sampai jumpa" di bandara. Kisah mereka terlalu mulus di awal, tapi batu besar menunggu di seperempat jalan akhir.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ACCEPTABLE LIES OR BITTER TRUTH? (Bahasa Version)

SUKA DUKA ANAK IPA YANG NEKAD KULIAH HI

MENGAPA RATU ELIZABETH II BISA BERTAHTA DI AMERIKA? (Annisa Rizkyta)