“HAYU NILIK KABUDAYAAN GARUT”(Annisa Rizkyta)
Mengutip
dari Selo Sumardjan, ”Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan.” Artinya, budaya adalah sesuatu yang melekat dan
selalu berdampingan dengan masyarakat, entah apapun, kapanpun, bahkan
dimanapun. Budaya adalah identitas, gambaran tentang bagaimana corak kehidupan
sekelompok orang di suatu daerah, tentang bagaimana mereka bertingkah laku dan
bertindak, tentang bagaimana mereka menjalankan petuah dan menghindari
pantangan. Masyarakatnya dituntut untuk tunduk dan patuh terhadap adat dan
kebiasaan yang berlaku di daerahnya, yang sudah dijalani sejak masa nenek
moyangnya terdahulu. Namun bukan suatu kemustahilan bila aka nada masa di mana
masyarakat memunculkan suatu kebudayaan baru yang bahkan akan dijalankan oleh
penerusnya kelak.
Bicara
tentang kebudayaan, saya ajak anda menelaah keunikan budaya yang hidup di
Garut, sebuah kabupaten di Jawa Barat, yang bergelar Kota Intan. Garut bukan
wilayah metropolitan yang di dalamnya terdapat hingar binger kehidupan modern,
tapi sejauh ini, kami menjalani kehidupan tanpa tutup mata dengan teknologi dan
modernisasi, hanya saja kami berusaha keras untuk tetap menghidupkan kebudayaan
daerah, agar kelak ciri khas ini tidak mati tergerus zaman.
Di
Garut, kebudayaan Sunda adalah identitas kami. Di dalamnya sangat kental kebiasaan
bahkan kepercayaan yang dianut sejak masa nenek moyang atau yang kami sebut karuhun. Islam adalah kepercayaan
mayoritas masyarakat Garut, tapi bukan berarti kami menghindari perbedaan. Ajaran asli Sunda wiwitan masih berkembang disini,
yaitu di Kampung Pasir Desa Cintarayat Kecamatan Samarang, kami hidup saling
berdampingan tidak ada konflik yang terjadi walaupun berbeda pandangan hidup.
Apapun kepercayaannya, kami tetaplah rumpun yang menjunjung toleransi dengan
saling menghargai dan tidak menyinggung agama apapun.
Meski baru delapan tahun tinggal di Garut, saya sudah
diperdengarkan cerita-cerita yang disebarkan secara lisan dan turun temurun.
Satu di antaranya adalah Sasakala Situ Bagendit yang mengisahkan terbentuknya
suatu danau karena ketamakan seorang wanita kaya bernama Nyi Endit, ia
ditenggelamkan bersama seluruh harta kekayaannya oleh seorang manusia sakti
yang menyamar menjadi pengemis. Situ Bagendit kini menjadi sebuah objek wisata
di kabupaten Garut dan kisah itu tetap hidup sampai sekarang untuk mengajarkan
betapa ketamakan dan kesombongan tak akan mendatangkan keberuntungan.
Yang tak kalah menarik, saya hafal betul suatu kebudayaan
yang begitu lekat di masyarakat kampung Pulo, sebuah kampong kecil yang tidak
begitu jauh dari tempat saya tinggal. Disana terdapat sebuah candi dari masa
kejayaan Hindu yang berkembang di Garut saat itu. Orang-orang yang
mengunjunginya percaya bahwa bila kita melempar koin ke stupa yang ada di dalam
candi tersebut, keberuntungan akan datang pada kita di waktu yang akan datang.
Namun untuk mencapai candi ini, kita harus menaiki rakit untuk menyebrangi
sebuah danau yang tidak begitu besar, yang diberi nama Situ Cangkuang.
Di Kampung Pulo, hanya terdapat tujuh bangunan yang berdiri
di dalamnya, yaitu enam rumah dan satu mushola. Penduduk Kampung Pulo adalah
keturunan dari almarhum Eyang Embah Dalem Arief Muhammad, yang makamnya ada
persis di sebelah bangunan candi Cangkuang. Beliau merupakan penyebar agama
Islam di daerah Garut pada masanya. Di kampung ini juga terdapat pantangan yang
dipatuhi oleh penghuninya, yakni tidak boleh menabuh gong dan dilarang
memelihara hewan berkaki empat.
Kabupaten Garut adalah unik dengan semua kebudayaan dan ciri
khasnya. Maka dari itu, hal ini perlu mendapat perhatian lebih, untuk dijaga
dan dilestarikan. Apapun yang berbau tradisional adalah harta yang tidak boleh
dibiarkan punah bahkan lenyap. Sebesar apapun kuantitas globalisasi datang dan
menyerbu, keragaman daerah harus tetap dipertahankan agar bangsa ini tetap
eksis dengan segala keunikannya.
Komentar
Posting Komentar