DEMOKRASI DALAM KACAMATA TIGA AGAMA (Annisa Rizkyta)

Dewasa ini perpolitikan di dunia semakin kompleks dan general. Segala aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya, bahkan religi selalu disangkut-pautkan dengan kepentingan politik. Kebijakan demi kebijakan dibuat oleh hukum nasional maupun internasional tidak terlepas dari politik. Terlebih kini, agama layaknya sarana untuk melancarkan strategi politik banyak orang untuk mencapai suatu tujuan dan kepentingan pribadi. Utamanya mengatasnamakan demokrasi dalam religi, membuat masyarakat kebingungan tentang apa sebenarnya nilai yang ingin disampaikan. Kedaulatan mutlak yang berada di tangan rakyat membuat kebebasan semakin tak terbatas. Inilah yang membuat masyarakat dunia terbelah menjadi dua kubu, yakni pro-demokrasi dan kontra demokrasi. Lalu bagaimana pandangan agama menyikapi sistem demokrasi yang kian berkembang dan meluas? Dalam tulisan ini, penulis akan mengemukakan pandangan tiga agama besar dunia yakni Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), serta Yahudi terhadap keberadaan demokrasi.

Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam memandang demokrasi sebagai hal yang tidak perlu dibesar-besarkan. Masih banyak pertentangan di antara para ahli mengenai apakah demokrasi benar-benar berhubungan dengan islam atau tidak. Ada yang menolak mentah-mentah, ada yang menerima sepenuhnya, dan ada pula yang menerima namun dengan beberapa catatan. Sejauh ini, negara dengan mayoritas muslim yang menjalankan demokrasi hanyalah Turki dan Indonesia (pasca reformasi), selebihnya mereka masih meragukan apakah demokrasi benar baik untuk diterapkan atau hanya akan membuat kerusakan. Kebanyakan masyarakat muslim dari negara non-demokrasi percaya bahwa islam selalu punya cara untuk mengatur, membenahi, dan melindungi negara tanpa harus mengadaptasi demokrasi yang notabenenya berakar dari ajaran kristen yang dibawa dari Barat.

A. Rahman Zainuddin dalam Pengantar Robert A. Dahl menjelaskan ukuran-ukuran negara demokratis sebagai berikut:
1. Didirikannya sistem politik yang sepenuhnya demokratis yang representatif berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil.
2. Diakuinya secara efektif kebebasan yang fundamental dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan beragama, berbicara, dan berkumpul.
3. Dihilangkannya semua perundang-undangan dan peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik.
4. Diciptakannnya suatu badan kehakiman yang bebas.
5. Didirikannya kekuatan-kekuatan militer, keamanan, dan kepolisian yang tidak memihak.

Berdasarkan ukuran-ukuran di atas, negara dengan mayoritas muslim pantas untuk tidak menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya karena pemilihan representasi tidak harus selalu dengan pemilihan umum, islam mengenal adanya prinsip syura, ijtihad, dan ijma'. Perkara kebebasan, dalam islam ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar karena keabsolutan sepenuhnya milik Allah. Badan kehakiman bisa diserahkan pada orang-orang yang jujur dan dipercaya oleh masyarakat, kemudian dikembalikan lagi pada Al-Qur'an dan sunnah. Serta jauh sebelum ada demokrasi, Islam di zaman Rosululloh pun sudah mengenal kekuatan militer untuk berjihad di jalan Allah.
Di sisi lain, jika menilik pendapat beberapa ahli yang mengatakan demokrasi sebenarnya sejalan dengan ajaran islam, kita bisa menemukan kesamaan bahwa demokrasi dan islam sama-sama menolak kediktatoran. Jadi bisa disimpulkan bahwa jika demokrasi Barat menekankan hak-hak kebebasan dan kedaulatan mutlak, maka demokrasi Islam menekankan batasan-batasan sesuai dengan ajaran Allah.

Lain Islam, lain juga pandangan Kristen terhadap demokrasi. Beberapa ahli berpendapat bahwa Alkitab memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit tentang demokrasi karena sistem ini sendiri baru diaplikasikan di abad ke-19, jauh dari lahirnya perjanjian lama maupun perjanjian baru. Namun mereka yakin bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan injil. Meskipun demikian, kekuasaan legislatif atau sebagai pembuat aturan tetap harus melekat pada kitab yang Tuhan turunkan. Manusia tidak bisa sewenang-wenang dalam membuat undang-undang tanpa menghiraukan hukum Tuhan. 
Pada faktanya, kekristenan adalah lingkungan yang cocok untuk demokrasi semenjak Marthin Luther mereformasi kekuasaan mutlak gereja yang waktu itu disalahgunakan. Dobrakan ini yang memantik tegaknya kebebasan individual yang tak lain merupakan karakteristik dari demokrasi itu sendiri. Kemudian lahirlah pemahaman bahwa kekuasaan mengenai negara harus dipisahkan dengan perkara agama.

Tokoh kristen lain yakni Yohanes Calvin bisa disimpulkan pro-demokrasi sekalipun ia lebih menyetujui aristokrasi yang kemudian berkembang menjadi pandangan 'demokrasi perwakilan'. Ia menentang sistem monarki yang membuat kekuasaan menjadi mutlak di tangan seorang pimpinan. Sedang demokrasi juga tidak cukup sempurna karena menempatkan kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat yang bisa memincu anarkisme. Baginya, suara mayoritas belum tentu sepenuhnya benar.

Selanjutnya, kita akan mengetahui bagaimana pandangan Yahudi terhadap demokrasi. Langsung saja kita lihat pengaplikasiannya di negara yang memang digagas dan didirikan sebagai negara Yahudi, yaitu Israel. Mereka benar menggunakan pemilu dalam sistem politiknya. Namun dalam praktik aslinya, Israel sama sekali tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Dalam demokrasi, warga negara dinilai sama kedudukannya di mata hukum. Namun di negeri ini, orang-orang non-Yahudi menjadi warga negara nomor dua dan kebanyakan dihapuskan identitasnya. Jangankan yang berbeda agama, mereka bahkan membedakan antara Yahudi Eropa dengan Yahudi Amerika, Afrika dan yang lainnya. Yahudi Eropa sangat mereka agungkan, menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan dianggap sebagai warga negara nomor satu. 

Selain itu, sistem kebebasan yang seharusnya ada dalam demokrasi dilanggar secara terang-terangan. Partai Arab secara jelas dalam undang-undang tidak diperbolehkan untuk ikut andil dalam komite-komite penting seperti yang berhubungan dengan keuangan negara, militer, dan lain-lain. Jadi pada prinsipnya, Yahudi hanya mengadopsi beberapa sistem demokrasi namun tetap tidak mengindahkan nilai-nilai yang dianggap tidak perlu untuk diterapkan. Mereka tetap menjalankan rasisme dengan mengedepankan derajat mereka sebagai bangsa Yahudi itu sendiri.

Jika ditarik kesimpulan, tiga agama di atas tidak secara tegas mendukung atau menolak demokrasi. Ketiganya ada di tengah-tengah, tidak sepenuhnya meng-iyakan namun juga tidak menolak mentah-mentah. Namun di zaman modern ini, saat sekuleritas sudah ada dimana-mana, kebanyakan negara menerapkan sistem demokrasi bukan dilandaskan pada agama. Mereka benar-benar memisahkan antara urusan kenegaraan dan keagamaan. Pada akhirnya, prinsip-prinsip demokrasi punya tempatnya masing-masing dalam keterkaitan negara dan agama. 


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Kamil, Sukron. 2013. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Kencana.

Artikel
Mashuri, I.K. 2018. Apakah Israel Negara Demokratis? https://republika.co.id/berita/p27m4w440/apakah-israel-negara-demokratis. [Diakses pada 15 Maret 2020]

Soesilo, Yushak. 2014. Demokrasi Dalam Pandangan Kristen. https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/download/9/8.  [Diakses pada 14 Maret 2020]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ACCEPTABLE LIES OR BITTER TRUTH? (Bahasa Version)

I FIND NEW HAPPINESS

SUKA DUKA ANAK IPA YANG NEKAD KULIAH HI