IRAN VS IRAK: PERKARA NASIONALISME ATAU EGOISME? (Annisa Rizkyta)

Timur Tengah, saksi lahirnya tiga agama besar di dunia dan hingga kini masih tetap diagungkan umat Muslim, Nasrani, dan Yahudi di seluruh dunia. Dataran Mesopotamia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, serta kesuburan tepian sungai-sungai besar yang memakmurkan. Kawasan yang tidak akan pernah hilang dari sejarah peradaban manusia, sebab di sini banyak negara menggantungkan diri dan saling berkonspirasi untuk meraih tahta tertinggi dan menguasai apa pun yang ada di dalamnya, termasuk penguasaan atas wilayah beserta sumber daya alamnya. 
Pesona Tigris dan Furat yang diimpikan banyak bangsa seringkali memicu konflik hingga perang antar penguasa. Belum lagi hasrat menguasai jalannya perekonomian dan perdagangan internasional tidak bisa dibendung oleh masing-masing pimpinan. Tarik ulur perang-damai rupanya masih didasari kepentingan-kepentingan tiap negara untuk mencapai tujuan tertentu. Jangan heran jika ada pihak lain yang menunggangi, ikut cari untung dengan iming-iming menjadi tameng dan pemasok amunisi perang sampai penyedia fasilitas untuk mediasi damai. Dalam politik, tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.

Sejarah tidak boleh lupa, banyak bangsa bertaruh nyawa untuk membela harga diri dan mendirikan negara sendiri. Konflik berdarah rasanya sudah menjadi lumrah. Bukan hanya untuk mendapatkan wilayah, bahkan untuk sekedar menggulingkan rezim yang dianggap payah. Peperangan yang terjadi malah langsung atau tidak langsung membentuk rakyat untuk siap mati kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Jangankan penduduk biasa, raja sekali pun bisa tertusuk pisau saat keadaan sedang tidak baik-baik saja. Laki-laki ataupun wanita, harus bisa membela diri saat serangan datang, mereka menempatkan diri pada slogan "merdeka atau mati" seolah-olah sudah menerima kenyataan bahwa bumi mereka adalah rumah bagi senjata dan perebutan tahta. 

Dari sekian banyak pertarungan berdarah yang mengorbankan banyak orang, perang Irak vs Iran setidaknya berakhir dengan jalan damai. Setelah perang yang berjalan selama delapan tahun mempertemukan dua kubu di atas meja perundingan. Tapi dunia harus tahu, apa yang memantik peperangan di antara dua negara ini? Serta bagaimana proses damai tercapai sedang keduanya sama-sama menggilai kemenangan?

Irak merupakan suatu wilayah yang mendiami sebidang tanah di antara Sungai Tigris dan Eufrat yang berbatasan dengan Iran di Timur; Turki di Utara; Suriah dan Yordania di Barat; serta Arab Saudi dan Kuwait di Selatan. Di bidang ekonomi, Irak dikenal sebagai daerah pertanian kurma, gandum, beras, dan tembakau sejak lama. Negara ini juga menjadikan minyak bumi sebagai komoditi ekspor utama sebagai pemasukan negara.
Sebelum menjadi republik, Irak adalah sebuah kerajaan yang memperoleh kemerdekaan dari mandat Inggris di bawah LBB tahun 1932. Sepanjang sejarah pemerintahannya, Irak mengalami banyak sekali konflik, utamanya kudeta berdarah dalam upaya menggulingkan pemerintah yang berkuasa. Yang paling buruk dalam sejarah kudeta Irak adalah penggulingan rezim Nuri yang dipimpin oleh Jendral Abdul Karim Qosim dan Kolonel Abdul Salam Arif pada 14 Juli 1958. Peristiwa itu menewaskan seluruh keluarga kerajaan Nuri.

Di kubu lain, ada Iran yang merupakan Republik Islam. Seperti Irak, negara ini pun melakukan banyak perlawanan terhadap rezim yang bertahta. Satu di antaranya, saat negara-negara Barat sedang menghadapi Renaissance 200 tahun yang lalu, pemberontakan kaum sekuler terhadap kekuasaan kaum agama atas negara dan tradisi ikut melanda negara-negara di Asia Barat Daya. Namun Ayatulloh Khomeini muncul dengan perlawanan balik. Kelompok agama sekarang kembali mengambil alih negara dari kelompok sekuler, dan kaum agamalah yang menang. Khomeini berhasil menggerakan aspek politik dan agama secara bersamaan (digabungkan) hingga sampai ke tingkatan yang fundamental. Tujuannya adalah menuntut keadilan dalam aspek sosial dan distribusi ekonomi serta menyederhanakan gaya hidup, memberantas korupsi, serta mengurangi kejomplangan antara yang kaya dan yang miskin.

Naasnya, Revolusi Iran yang merupakan revolusi terbesar di Timur Tengah abad ke-20 dibarengi dengan meletusnya Perang antara Iran dan Irak yang diawali dengan masuknya pasukan Irak ke wilayah Iran mulai 22 September 1980. Penyerbuan itu didasarkan alasan untuk membebaskan wilayah Khuzistan yang memiliki minyak berlimpah, di situ hidup suku Arab sebagai mayoritas namun selalu didominasi oleh orang Persia yang rasialis. 
Boleh jadi apa yang terjadi tentang peperangan tersebut adalah seperti ratusan tahun yang lalu, ketika timbul perang antara Babylonia melawan Persia. Irak adalah penerus Babylon, sedangkan Iran penerus Persia. Dalam sejarah, kedua bekas kerajaan ini telah pecah perang dan saling takluk-menaklukkan. (Tamara, dkk, 1981:48) Selain menghadapi perang, revolusi Iran juga dirongrong oleh golongan oposisi yang tidak hanya terdapat di dalam tubuh kelompok-kelompok politik Iran, tetapi juga terdapat di luar negeri. (Basri, 1987:34)
Saat diserang Irak, tentu Iran kaget sekalipun mereka tetap waspada setiap saat. Sebagai balasan, Iran menggempur pelabuhan minyak Irak yang berlokasi di Teluk Persia, Basra, dan sentral nuklir di dekat Bagdad. Di samping itu, Iran juga melakukan sabotase yang berdampak menjadi perang jangka panjang dengan tujuan menggulingkan negeri Irak yang berada di bawah pimpinan Saddam Hussein dari dalam. Namun Irak juga berupaya menjatuhkan rezim Khomeini dengan mematikan ekonomi Iran.
Sebenarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan Iran kurang siap siaga atas penyerbuan Irak, antara lain: tentara Iran sedang dalam pembersihan karena banyak perwira penting yang dipecat, dihukum, dan ditahan sehingga organisatoris tentara Iran menjadi rapuh; tentara sedang diperintahkan untuk menghadapi Uni Soviet dalam keadaan suku cadang yang kurang akibat blokade ekonomi dan militer yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya akibat penyanderaan atas warga negaranya; dan tentara juga diturunkan untuk menumpas pemberontakan yang dilancarkan oleh bangsa Kurdi.
Penyebab berkobarnya perang ini belum dapat dipastikan. Namun banyak hipotesa yang menyimpulkan bahwa perang ini disebabkan oleh nafsu imperialisme, konflik sektarian, keinginan untuk hegemoni, dan rasa nasionalisme. 

Saat semakin banyak korban yang berjatuhan, pertahanan rakyat, militer, dan Pasdaran (pengawal revolusi bersenjata yang lahir bersamaan dengan revolusi Iran) mempersulit masuknya Irak ke daerah padat penduduk. Ketiga unsur itu bersatu karena dipantik rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi demi mempertahankan negaranya dan mengenyampingkan pertentangan internal di antara mereka demi memusatkan perlawanan balik terhadap Irak. 

Dewan PBB yang berpusat di New York menggelar sidang pada tanggal 28 September 1980 untuk menawarkan perundingan antara dua negara yang sedang berperang, yakni Irak dan Iran. Namun penawaran ini tidak digubris sama sekali oleh kedua belah pihak. Mereka bersikukuh mempertahankan kedaulatan negaranya, bahkan Irak mendeklarasikan mereka sanggup berperang sampai kapan pun. Saat itu, kubu Iran didukung Suriah, Libya, dan Yaman Selatan. Di kubu lain, Irak dibantu Mesir, Yordania, Yaman Utara, GCC, AS/Barat, Maroko, PLO, dan Uni Soviet.

Perang yang telah berlangsung selama delapan tahun akhirnya menemui titik akhir. Gencatan senjata antara Irak vs. Iran disepakati kedua pihak dan berhasil mematahkan prediksi dunia yang menyebutkan dua negara ini tidak akan pernah berdamai. PBB memediasi kedua kubu untuk berunding kemudian PBB memberi mandat untuk melaksanakan gencatan senjata. Maka setelah itu, statusnya kembali seperti sedia kala, seolah-olah tidak pernah ada peperangan. Taheran dan Bagdad maju ke meja perundingan dengan didorong beberapa faktor, antara lain: menipisnya perekonomian dua negara; arus moderasi semakin menguat; menurunnya semangat pertempuran; dan ketidakseimbangan dukungan internasional di mana Iran jauh kalah kuat dibandingkan Irak yang disokong banyak negara. 

Selain memakan banyak korban jiwa, tentu perang akan merugikan aktornya dari segala aspek, utamanya ekonomi dan politik. Dalam perkelahian atau lebih parahnya lagi peperangan, yang menang jadi arang dan yang kalah jadi abu. Runtuhnya perekonomian membuat masing-masing negara harus berupaya ekstra dalam membangun kembali infrastruktur dan menghidupkan roda kehidupan. Rakyat menjadi korban atas keegoisan penguasa yang menginginkan kepuasaan dengan menghalalkan segala cara. Mengapa tidak kita merubah mindset ‘memperkaya negara sendiri’ dengan cara memaksimalkan pengelolaan sumber daya yang ada, memutakhirkan teknologi, dan membangun sumber daya manusia agar lebih berkualitas. Dengan begitu, sebuah negara akan menjadi negara yang maju, berdaulat, serta dihormati dunia.
DAFTAR PUSTAKA

Noor, Yusliani, 2014. Sejarah Timur Tengah (Asia Barat Daya). Yogyakarta: Penerbit ombak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ACCEPTABLE LIES OR BITTER TRUTH? (Bahasa Version)

SUKA DUKA ANAK IPA YANG NEKAD KULIAH HI

MENGAPA RATU ELIZABETH II BISA BERTAHTA DI AMERIKA? (Annisa Rizkyta)