Kaitan Shanghai Cooperation Organization dan Greater Mekong Subregion Sebagai Perwujudan Middle Kingdom Syndrome China untuk Menandingi Dominasi AS

Middle Kingdom Syndrome

Middle Kingdom Syndrome merujuk pada perspektif China terhadap dinasti kerajaan yang menjadi system percaturan politik antar negara. Istilah ini mulai dikenal dan diaplikasikan pada masa pemerintahan Partai Komunis China (PKC) dengan tujuan utama untuk melindungi keamanan nasionalnya. Dalam perspektif ini, China gencar melakukan kerja sama dengan kekuatan yang geografisnya berdekatan guna mencegah terjadinya dominasi salah satu kekuatan di kawasan. Selain mempertimbangkan faktor geografi, China juga menjalin hubungan dengan negara atau kerajaan yang dinilai kuat. Ada juga istilah dynamic equilibrium yang merupakan balance of power versi China. Dynamic equilibrium mengaju pada penggabungan beberapa kerajaan untuk memperluas wilayah.[1]

Kerja sama yang terjalin antara China dengan negara atau kerajaan lain membuat China mengkategorikan negara ke dalam beberapa zona, hal ini kemudian dikenal dengan sebutan space centric. China membagi dunia menjadi empat kelompok, yakni:

  1. Negara China yang berisi orang-orang China;
  2. Inner Zone (zona dalam), termasuk Manchuria, Monggolia, Korea, Annam, dan Tibet;
  3. Bangsa Asia, meliputi India, Parsi, Filipina, Indonesia, serta Jepang;
  4. Strange Zone, seperti Australia, Amerika, Afrika, dan Eropa.[2]

Middle Kingdom Syndrome memberikan kemudahan bagi China untuk menjalankan politik luar negerinya, utamanya di sektor keamanan. Space centric pun mempermudah pemetaan kepentingan China untuk melakukan kerja sama di berbagai bidang yang menguntungkan. Dan pada akhirnya, pola tersebut akan membentuk dynamic equilibrium antara China dengan negara-negara tetangganya sebagai kekuatan yang dibarengi oleh arah kepentingan yang sama.

Dynamic equilibrium ini kini dapat dilihat dari kerja sama regional yang diinisiasi China khususnya di bidang keamanan dan ekonomi. Dua di antaranya adalah Shanghai Cooperation Organization dan Greater Mekong Subregion yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini karena kaitannya dengan peningkatan angkatan militer China sebagai upaya mengakhiri dominasi AS di dunia perpolitikan internasional.

 

Sejarah Singkat China

China adalah negara dengan latar belakang ekonomi politik yang cukup panjang sebelum akhirnya dikenal dunia sebagai negara yang sangat potensial untuk mengakhiri unipolarisme Amerika Serikat di dunia internasional. Negara ini setidaknya mengalami tiga kali revolusi, yakni masa berakhirnya pemerintahan monarki, revolusi nasionalis (1912), dan revolusi komunisme (1949).

Berakhirnya kekuasaan bercorak monarki di China terjadi saat pemerintahan dinasti Qing runtuh. Pemimpinnya, Ratu Cixi, dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang keras. Ia dijuluki sebagai ‘iron hand’. Pernyataannya yang paling terkenal adalah “jika satu hari saja kau menyusahkan, maka akan kubuat kau susah seumur hidup”. Selain lekat dengan sifatnya yang konservatif, ia juga sangat anti Barat. Ketika Ratu Cixi turun tahta di tahun 1906, posisinya digantikan Raja Puyi. Namun pemerintahan Raja Puyi ini tidak berlangsung baik, ia hanya menjadi boneka kekaisaran Jepang dan kemudian turun tahta di tahun 1912.

Setelah pemerintahan monarki berakhir, revolusi republik pecah dengan dipimpin oleh Sun Yat-sen, seorang pendiri Partai Nasionalis Tiongkok (Koumintang). Revolusi ini dilatarbelakangi oleh kegagalan Dinasti Qing yang dinilai korup. Pemberontakan terjadi pada 1 Januari 1912. Pusat pemerintahan masa ini berada di Tiongkok daratan. Namun bentuk negara republik ini hanya bertahan sampai tahun 1949, sebelum akhirnya dikalahkan oleh kaum komunis di bawah Partai Komunis Tiongkok dan bergeser ke Taiwan.

Partai Komunis sukses menggulingkan Partai Nasionalis di China daratan di bawah pimpinan Mao Zedong yang bahkan pernah bergabung dalam revolusi Kuomintang saat meruntuhkan Dinasti Qing. Revolusi ini didorong oleh ketamakan kaum Nasionalis-borjuis di masa Chiang Kai-shek. Tanggal 1 Oktober 1949 diperingati sebagai hari berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dengan pengangkatan Mao Zedong sebagai presidennya.

Revolusi Tiongkok yang digerakkan PKC dinilai sebagai langkah terbesar dalam sejarah politik China, sekaligus membuka gerbang kejayaan negara ini di masa mendatang. China berhasil mencapai kebebasan dari pengaruh asing, utamanya imperialisme AS yang sudah mempengaruhi kekuasaan Chiang Kai-shek. Banyak perombakan yang dilakukan, beberapa di antaranya adalah dengan penggulingan tuan tanah, kapitalisme, likuidasi perusahaan swasta, dan nasionalisasi faktor-faktor produksi. Hal-hal ini dilakukan guna memenuhi syarat awal sosialisme namun juga terbukti mampu mendorong perkembangan industri Tiongkok. Tanpa Revolusi Tiongkok 1949, negara ini diragukan dapat menjadi salah satu kekuatan terbesar di dunia sekarang ini.[3]

Kini, dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, China melesat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat yang didominasi oleh perdagangan dan investasi sejak Deng Xiaoping menerapkan kebijakan membuka diri secara ekonomi dan politik (1978). China bahkan menjadi kekuatan ekonomi politik yang disegani di dunia. Melalui economic power ini, China berhasil membujuk banyak negara untuk terlibat dalam berbagai kerja sama untuk mengamankan kepentingan nasionalnya sembari memberi keuntungan bagi para aliansinya. Salah satu kerja sama yang sangat penting adalah di bidang keamanan, seperti Shanghai Cooperation Organization dan Greater Mekong Subregion.

Dua kerja sama di bidang keamanan di atas merupakan salah satu upaya China untuk memastikan wilayah kedaulatannya aman dari berbagai ancaman, termasuk pemberontakan internal dan invasi eksternal. Namun dua ancaman ini dianggap bukan alasan mutlak pendirian proyek keamanan yang digagas China. Oleh karena itu, paper ini akan menganalisis maksud dan tujuan dari didirikannya dua kerja sama keamanan ini.

 

Shanghai Cooperation Organization

Sebelum Uzbekistan bergabung pada 15 Juni 2001, Shanghai Cooperation Organization dikenal dengan nama Shanghai Five yang berdiri pada tahun 1996 dan beranggotakan lima negara, yakni China, Rusia, Kazakhstan, Kyrgystan, dan Tajikistan. Lalu di tahun 2017, India dan Pakistan bergabung menjadi anggota resmi, setelah diterima sebagai negara pengamat SCO pada tahun 2005.

Shanghai Cooperation Organization memiliki struktur yang cukup kompleks, susunannyadapat dilihat sebagai berikut:

  1. Council of Heads of State
  2. Council of Heads of Government
  3. Council of Foreign Ministers
  4. Meetings of Heads of Ministries and Departments
  5. Council of National Coordinators
  6. Regional Anti-Terrorist Structure[4]
Setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai oleh runtuhnya Uni Soviet pada 26 Desember 1991, China terlibat dalam konflik perbatasan Sino-Soviet, namun kemudian diselesaikan dengan adanya Sino-Soviet Border Agreement pada Februari 1992. Lahirlah negara-negara pecahan bekas Uni Soviet di Asia Tengah, yakni Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Tiga negara muda ini memiliki batas langsung dengan barat laut China sehingga sangat dikhawatirkan akan adanya separatism dan terorisme lintas batas. Hal inilah yang menjadi faktor penting berdirinya organisasi keamanan regional ini. Namun dengan berjalannya waktu, kerja sama ini juga menyentuh bidang ekonomi, politik, dan militer yang diyakini memberi keuntungan bagi masing-masing negara anggota.

Selain untuk menjaga keamanan dan menghindari konflik, SCO juga bertujuan untuk menciptakan struktur dunia yang polisentris sesuai dengan nilai-nilai hukum internasional, memenuhi kepentingan nasional masing-masing tanpa merugikan anggota lain, mencegah benturan antar negara anggota, dan menghindari penyerangan terhadap entitas berdaulat tertentu.[5] SCO ini juga dianggap sebagai pesaing NATO.

Selama berdiri hampir 20 tahun, SCO dinilai berhasil menciptakan sejarah penting dalam panggung politik internasional. Sebagai organisasi yang berfokus pada keamanan, SCO mampu menangani upaya separatisme, ekstrimisme, bahkan terorisme (three evil forces), khususnya di Asia Tengah. Organisasi ini juga mampu membendung dominasi pengaruh Amerika Serikat di lingkup regional ini, persis seperti yang diharapkan oleh China dan Rusia.

Amerika Serikat terlihat sangat gencar menyebarkan pengaruhnya di wilayah Asia, terlebih saat AS menjadi ‘security umbrella’ bagi Korea Selatan dan Jepang serta upayanya untuk masuk dalam perdagangan minyak di Laut Kaspia yang dikelilingi oleh negara-negara Asia Barat dan Asia Tengah. AS juga memiliki maksud dan kepentingan lain di Asia Tengah, beberapa di antaranya adalah mewujudkan negara yang demokratis, terbukanya pasar bebas, supremasi hukum, hingga penegakkan HAM. Namun rencana-rencana ini nampaknya terbendung oleh adanya pengaruh kuat China.

Meskipun SCO adalah bentuk kerja sama antar negara, namun China tidak jarang mengambil jalan yang ‘berbeda’. Di tahun 2005, Peace Mission hanya dijadikan China sebagai lading latihan militer tunggal. Di tahun ini juga, Rusia terang-terangan menentang hadirnya militer China di Kawasan Asia Tengah, apalagi rencana Beijing untuk membuat pangkalan militer di Uzbekistan dan Kyrgyzstan.[6]

 

Greater Mekong Subregion

Sungai Mekong yang mata airnya berasal dari pegunungan Tibet mengalir melewati enam negara yakni Tiongkok, Myanmar, Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam. Keberadaan sungai ini membawa manfaat yang berlimpah bagi negara yang dilaluinya. Melihat adanya kesamaan kebutuhan terkait ini, enam negara tersebut sepakat untuk terlibat dalam satu bentuk kerja sama khususnya di bidang ekonomi yang berdiri pada tahun 1992. Greater Mekong Subregion (GMS) lahir untuk mewujudkan wilayah yang sejahtera, terintegrasi, dan harmonis dengan bantuan dari Asian Development Bank.

Dalam rangka meningkatkan perekonomian negara anggota, setidaknya terdapat sembilan sektor yang menjadi fokus utama, antara lain: energi, lingkungan, pertanian, pengembangan kualitas SDM, investasi, telekomunikasi, infrastruktur transportasi, perdagangan, dan pariwisata.[7] Kerja sama antara Tiongkok dan negara-negara Indochina ini diyakini akan membawa banyak keuntungan.

Untuk mewujudkan visinya, GMS mengadopsi tiga strategi utama, yakni:

  1. Meningkatkan konektivitas melaui pembangunan infrastruktur fisik yang berkelanjutan dna transportasi menjadi koridor ekonomi transnasional;
  2. Meningkatkan daya saing melalui fasilitasi yang efisien untuk pergerakan orang dan barang lintas batas serta integrasi pasar, proses produksi, dan rantai nilai;
  3. Membangun rasa kebersamaan yang lebih besar melalui proyek dan program yang menangani masalah sosial dan lingkungan bersama.[8] 
Koridor ekonomi memberikan berbagai manfaat, jauh melampaui apa yang dapat diberikan oleh proyek mana pun. Ada tiga koridor ekonomi utama di Subkawasan Mekong Raya, yakni Koridor Ekonomi Utara-Selatan, Koridor Ekonomi Selatan, dan Koridor Ekonomi Timur-Barat. Rencana sedang dilakukan untuk memperluas koridor ini, dan memperkuat hubungan antara ibu kota negara GMS.[9]

 

Kaitan Kerja Sama Regional China Dengan Peningkatan Kekuatan Militernya

Dua kerja sama regional di atas secara tersirat mampu menjadi faktor pendukung dalam upaya China mengakhiri dominasi Amerika Serikat di dunia internasional sebagai pemegang unilateralisme pasca runtuhnya Uni Soviet. Perkembangan ekonomi China yang melesat jauh pun dapat menjadi modal terbesarnya. Berbagai kerja sama yang terbangun antara China dan banyak negara dapat menjadi tameng pertahanan. Artinya, saat China kelak ‘menggempur’ AS dengan serangan nyata, maka negara yang terikat kerja sama dengannya akan segan untuk melawan atau bahkan sekedar mencegah karena ada ketergantungan ekonomi yang harus dikorbankan.

Kebangkitan China membuat rivalitas antara AS dan China terasa kian memanas. Perkembangannya di berbagai bidang siap mengantarkan China untuk meraih status super power untuk menandingi kekuatan negeri Paman Sam. Strategi yang dimainkan China terlihat sangat menjanjikan. Negara ini terus mendaki puncak dengan mengatur banyak hal menjadi sedemikian rupa demi mencegah timbulnya gesekan apalagi konflik dengan negara-negara yang juga menjadi target rivalnya.

China yang terkenal dengan kekuatan ekonomi yang besar dalam 30 tahun terakhir kini juga mulai menjelma menjadi kekuatan militer yang disegani. Menurut laporan International Institute for Strategic Studies (2017), China memiliki Angkatan bersenjata terbesar di dunia meskipun peralatannya masih tertinggal dari Amerika. Oleh karena itu, China terus memodernisasi Angkatan bersenjatanya, terutama untuk penguatan Angkatan laut China. Tidak hanya untuk melindungi perbatasan pantai, mereka juga serius dalam menjangkau kawasan laut dalam dengan memiliki kapal selam serbu bertenaga nuklir, kapal selam serbu bertenaga nuklir yang dilengkapi peluru kendali balistik, dan kapal selam serbu bertenaga diesel. Selain itu, ada juga kapal selam serbu dengan peluru kendali jelajah untuk penyerangan jarak jauh buatan Rusia.[10]

Tentu tidak cukup dengan kapal selam saja, armada utama pasti memerlukan kapal induk. Liaoning, kapal induk pertama China adalah buatan Rusia yang dibeli dari Ukraina dan beroperasi sejak 2012. Sedangkan kapal induk kedua bernama Shandong membuktikan keseriusan dan kemandirian China untuk menyokong ambisinya. Kapal induk buatan China ini bertipe 001A dengan bobot mati 77.000 ton dan sanggup membawa 48 pesawat terbang. China juga diprediksi akan menunjukkan kapal induk terbarunya pada akhir 2020.[11] Kapal ini diyakini akan memiliki ukuran yang lebih besar dan teknologi yang tentunya lebih canggih.

Dengan penguatan angkatan lautnya, China bertekad untuk menjadi kekuatan maritim terbesar di dunia. Maka tidak heran jika China menjalin kerja sama dengan banyak negara maritim lain. Hal ini sangat merujuk pada kerja sama yang dijalin China dalam Shanghai Cooperation Organization, Greater Mekong Subregion, dan beberapa kerja sama lainnya yang tidak dijelaskan dalam tulisan ini.

Agresivitas China yang didukung oleh kekuatan ekonomi dan peningkatan kekuatan militer akan menjadi ancaman besar bagi Amerika Serikat. Terlebih dalam konflik sengketa Laut China Selatan yang membuat AS dan China semakin bersitegang. Saat kunjungan kapal perang AS melewati Kawasan LCS, China balik merespon dengan diadakannya latihan militer besar-besaran yang melibatkan puluhan kapal perang, termasuk Liaoning di kawasan tersebut. Tindakan yang dilakukan China ini dianggap sebagai persoalan yang sangat serius bagi AS. [12]

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan China kian mumpuni dalam mempersiapkan diri menjadi negara super power dengan paket lengkap (kekuatan politik, ekonomi, dan militer). Kapabilitas ini yang bisa mengantarkan China untuk menandingi kekuasan AS dan tidak menutup kemungkinan bahwa China akan menjadi lawan sejajar bagi AS jika sewaktu-waktu pertempuran pecah di antara keduanya sebagai dua kekuatan besar di panggung politik internasional.

Pemaparan di atas dapat dipahami sebagai bukti pengaplikasian Middle Kingdom Syndrome di China serta kaitannya dengan space centric yang memetakan kepentingannya berdasarkan empat zona yang telah dibagi. Berbagai kerja sama yang terbangun kemudian dipahami sebagai realisasi atau wujud nyata dari dynamic equilibrium.


Ditulis oleh: Annisa Rizkyta (Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Jember)

Email: annisarizkytahsbn@gmail.com

 


[1] Udhma, L. 2015. Middle Kingdom Syndrome di Cina. http://lupitanyongo.web.unej.ac.id/2015/10/14/middle-kingdom-syndrome-di-cina/. [diakses pada 21 November 2020]

[2] Ibid.

[3] Woods, A. 2010. Revolusi Tiongkok 1949. https://www.militanindonesia.org/teori-4/sejarah/lain-lain/8047-revolusi-tiongkok.html [diakses pada 21 November 2020]

[4] Tjoa, S. 2018. Mengenal Apa itu “Shanghai Cooperation Organization”. https://www.kompasiana.com/makenyok/5b1f51e55e13737dfd06e6e4/mengenal-apa-itu-sco-shanghai-cooperation-organization#. [diakses pada 21 November 2020]

[5] Ibid.

[6] Cheng J.Y.S, 2011. The Shanghai Co-operation Organisation: China's Initiative in Regional Institutional Building. Journal of Contemporary Asia, 41(4) hal. 632-656. Dalam Gisela Grieger, 2015. China's leading role in the Shanghai Cooperation Organisation. European Parliamentary Research Service hal.2 http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2015/564367/EPRS_BRI(2015)564367_EN.pdf. [diakses pada 22 November 2020]

[7] Ferilia, N. 2013. Upaya China untuk Meningkatkan Hubungan dengan Negara-negara Indochina. Skripsi. Jember: Program Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.

[8] Asian Development Bank. 2015. Greater Mekong Subregion Economic Cooperation Program: Overview. https://www.adb.org/sites/default/files/publication/29387/gms-ecp-overview-2015.pdf. [diakses pada 22 November 2020]

[9] Greatermekong.org. 2017. Economic Corridors in the Greater Mekong Subregion. https://greatermekong.org/content/economic-corridors-in-the-greater-mekong-subregion. [diakses pada 22 November 2020]

[10] Gertz, B. 2017. Why America Should Fear China’s Submarine Fleet. http://nationalinterest.org/blog/the-buzz/why-america-should-fear-chinas-submarine-fleet-21255. [diakses pada 22 November 2020]

[11] Brennan, D. 2018. First Chinese-built Aircraft Carrier Ready for Sea Trials as Beijing Showcase Naval Power. http://www.newsweek.com/first-chinese-bulit-aircraft-carrier-ready-for-sea-trials-beijing-showcase-naval-863566. [diakses pada 22 November 2020]

[12] Cipto,B. 2018. Strategi China Merebut Status Super Power. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hal. 146-147.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ACCEPTABLE LIES OR BITTER TRUTH? (Bahasa Version)

I FIND NEW HAPPINESS

SUKA DUKA ANAK IPA YANG NEKAD KULIAH HI