SUKA DUKA ANAK IPA YANG NEKAD KULIAH HI

 Dari dulu sampai sekarang, kalau ditanya SMA-nya jurusan apa dan aku jawab IPA, pasti bakal disebut "murtad" karena belok dari Saintek ke Soshum. Ada juga yang bilang "anak IPA ya kuliahnya IPA lagi aja, jangan ngambil lapak orang". Obrolan itu kayanya sudah jadi lumrah di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia.


Aku pribadi kurang setuju kalau disebut ngambil lapak orang karena dalam prosesnya juga perlu effort besar, alias bukan sulap bukan sihir. Jadi daripada label "murtad", aku lebih senang menyebutnya "hijrah". Transisinya pun tidak mudah, ibarat kata kita harus belajar dari nol lagi. Satu hal yang paling aku pikirkan adalah ilmu-ilmu saintek kemarin mau dikemanakan? Rasanya gak mungkin kalo kita bikin esai tentang kesetaraan gender pake rumus hidrokarbon.


Jurusan Hubungan Internasional jadi pelabuhan terakhir setelah ditolak di Teknik Kimia dan Planologi. Jadi jangan berpikir saya tidak berusaha untuk mencari jurusan yang linier dengan apa yang saya pelajari di SMA. Meskipun hasilnya di luar ekspektasi, tapi prosesnya juga jadi pelajaran yang berarti.


Saat jadi calon mahasiswa HI (masa-masa ospek), saya merasa insecure dan berpikir salah jurusan. Di grup WhatsApp, orang-orang sudah bahas konflik Laut China Selatan pakai teori Realisme bahkan sebelum kita menyusun KRS (Kartu Rencana Studi). Sebagai orang awam, saya hanya jadi penonton yang tidak dibayar.


Waktu KBM sudah dimulai, dosen-dosen unjuk gigi dengan pemahaman dan pengalamannya yang jempolan. Ada yang lulusan Jepang, Australia, Amerika, sampai Inggris. Gaya bahasanya terlalu tinggi untuk saya yang masih sibuk memperbanyak bacaan HI.


Machiavelli, Immanuel Kant, Barry Buzan, sampai Joseph Nye. Dulu saya kira mereka itu aktor Hollywood yang main di film perang. Sekarang semakin banyak lagi nama-nama ilmuwan HI dari berbagai bidang kajian yang harus diingat betul-betul. Ada satu joke yang paling berbekas sampai sekarang. Suatu hari, dosen mata kuliah Diplomasi saya bilang, "kalau pacarmu anak HI tapi tidak bisa membaca 'Joseph Nye' dengan benar, putuskan saja!". Teman-teman pembaca juga boleh mencari tahu cara bacanya, hehe.


Berakhirnya semester satu menjadi tanda dari berakhirnya pula fase adaptasi yang saya lalui. Akhirnya saya merasa pantas disebut anak sosial karena mulai bisa memahami isu sosial, ekonomi, bahkan politik terhangat baik dalam negeri maupun luar negeri. Saya juga mencoba mencocokkannya dengan teori atau perspektif yang kiranya bisa menjelaskan kontras yang terjadi, setidaknya untuk menjadi bahan paper saya.


Ada perubahan paling signifikan yang saya rasakan, yakni model pembelajaran dan penugasan. Dulu hampir selalu ada angka dan aljabar di papan. Kita harus memahami rumus itu turunan dari mana dan sebagainya. Yang saya lakukan adalah mencatat dan melihat catatan lama untuk mencocokkan turunannya. Tugasnya pun kita diminta untuk mengisi soal sesuai dengan rumus yang tadi diajarkan dan guru biasanya sudah memegang kunci jawaban yang benar. Saat kuliah, saya harus mendengarkan penjelasan dosen secara seksama, dari mulai sejarah, tokoh-tokohnya, hingga analisis teori, dan studi kasusnya. Dengan apa yang dijelaskan tadi, kita harus mencari studi kasus yang berbeda dan menjabarkannya dengan salah satu teori yang diajarkan. Tidak ada benar dan salah, namun kita harus mampu memakai teori yang tepat untuk studi kasus yang kita tulis. Maka dari itu, perlu argumen yang kuat dan jelas untuk menjawabnya. 


Diskusi antar teman bukan lagi tentang jawaban siapa yang paling tepat dan dibenarkan oleh guru. Akan tetapi, mereka memperdebatkan suatu masalah menggunakan perspektif yang berbeda. Kubu klasik dan kontemporer bahkan terbagi-bagi lagi menjadi beberapa sudut pandang. Terkadang diskusi itu tidak berujung pada satu pandangan yang sama, namun mereka tetap bertahan dengan argumennya masing-masing.


Kemampuan untuk berpikir kritis kemudian menjadi sesuatu yang sangat penting. Aku pribadi masih terus belajar untuk itu. Yang paling aku sukai adalah fakta bahwa dunia baru ini membawaku pada banyak kesempatan baru yang bahkan tidak terbayangkan sebelumnya. Aku juga menemukan passion masa SMP-ku di HI, yakni menulis. Dari mulai sastra sampai artikel politik, aku sudah memberanikan diri mencoba semuanya. Tidak hanya untuk tugas, aku juga mendaftarkannya ke berbagai kompetisi menulis.


Selalu ada hal baru jika kita berani melangkah ke jalan yang berbeda dengan apa yang kita biasa jalani. Begitupun dengan pengalamanku sebagai "anak sosial baru". Banyak perbedaan yang dirasakan, tapi itulah poin penting yang harus dijadikan pembelajaran. Susah atau mudah, senang atau sedih, semuanya tergantung cara kita melihat dan mengekspresikan situasinya. Bagiku pribadi, transisi ini adalah sesuatu yang pantas syukuri karena semakin banyak mimpi baru yang mulai aku tanam. Prosesnya masih panjang dan aku berharap sukanya akan jauh lebih banyak ketimbang dukanya. Terakhir, apapun jalan yang kamu ambil,  jangan lupa bahwa ada kesempatan dan resiko yang jadi satu paket. Semoga jalannya tidak terlalu terjal sehingga tidak kehabisan bekal dan semangat sampai tiba di tujuan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ACCEPTABLE LIES OR BITTER TRUTH? (Bahasa Version)

MENGAPA RATU ELIZABETH II BISA BERTAHTA DI AMERIKA? (Annisa Rizkyta)